MARI BERSASTRA DAN BERKARYA

Di sini bukan arena pertarungan ala rimba, tapi coba setitik tinggal dilembah nurani sekedar menghisap tirta murni, sari pati puting ibu pertiwi dan cumbu illahi. Buat yang pernah berhenti dan mengajak menari, lalu dengan senyumnya yang tertinggal kembali melanjutkan perjalanannya tuk meraih sesuatu yang lebih berarti. Buat mereka semua yang mencoba jejakkan kakinya di tanah hati.

Hamil ?

Ada seberkas cahaya temaram diatas pucuk pohon bambu, menyelip diantara ruang kosong awan putih yang berarak rapi. Dalam gubuk reot ini beralaskan tikar dari pandan kita terdiam bersama memandangi sawah yang setiap hari kita asuh dengan nafas kasih sayang. Aku masih ingat kata2 yang kau ucapkan ketika kita menanam padi dua bulan lalu, katamu " ini adalah anak kita, kita harus merawatnya dengan tulus, nanti jika waktu panen tiba, jangan terlalu kasar memotong mereka, kita semai mereka dengan pisau yang digerakkan oleh hati, biar mereka rasakan bahwa seluruh raga kita ikut merasa apa yang mereka rasakan."
"Engkau terlalu sentimentil." Sahutku
Namun engkau tiada mau perduli, membiarkan dialog itu menggantung bersama awan yang semakin enggan menjadi hujan. Tapi tetap saja dialog itu seperti sebuah bom waktu yang sengaja kau ikat dijantungku. Mungkin perutmu telah mulai berontak karena telah dua tahun kita menikah tetapi sampai saat ini bibitku belum pernah berhasil menyentuh kebunmu. Ma'af sayang aku pasti bukan lelaki yang lihai bercocok tanam, tapi setidaknya aku telah berusaha dengan seluruh kemampuanku. Setiap aku mau mulai mencangkul satu jam sebelumnya aku sengaja minum tiga butir kuning telur ayam jawa dicampur air jahe hangat. Kata emak dulu ayah sering melakukan hal yang sama, oleh karena itu ia selalu berhasil selesaikan seluruh ladang ibu, bukan hanya itu hasil jerih payah ayah telah tiga kali dipanen. Panen pertama kali jadi ningsih kakakku, yang kedua mereka dapatkan aku dan yang terakhir muncullah khairul.
Selain itu aku juga telah minta resep sama mak ijah, dukun tetangga desa yang terkenal ahli dalam menangani urusan kebutuhan suami istri. Aku mengenalnya dari karwo teman karibku sejak kecil, engkau juga mengenalnya kan?itu loh yang rumahnya berada ditikungan perempatan jalan menuju masjid kampung kita. Telah enam bulan ini aku mengikuti anjurannya mulai dari puasa senin kamis sampai beberapa posisi ideal untuk bercocok tanam. Tanda – tanda usaha itu berhasil belum sekalipun kudapatkan. Pernah suatu ketika engkau mengeluh perutmu mual, betapa senang aku dengan hal itu dengan harapan bahwa diperutmu telah tumbuh benih yang selama ini coba kutanam dengan penuh gairah dan semangat. Segera saja kau kuantar ke bu Lis, bidan satu-satunya di kecamatan kita.
Sesampainya disana kegirangan hatiku ditukar oleh rasa dongkol yang amat sangat karena melihat antrian pasien yang menunggu untuk diperiksa. Sementara itu engkau masih mengeluh dengan rasa sakit diperutmu. Hari itu otakku dijejali pertanyaan yang nakal sehingga rasa hormatku pada Negara kelahiranku tercinta ini menjadi berkurang dan kepercayaan pada pemimpinnya musnah sudah. Bagaimana tidak! bukankah Negara didirikan untuk kesejahteraan rakyatnya dan setiap warga Negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak?, tapi kenyataannya dikecamatanku masih banyak yang melarat bin miskin. Jangankan bicara tentang kesehatan untuk makan sehari-hari saja susah. Ini masih tentang kesehatan yang mana puskesmas dikecamatan tempat kita tinggal cuma ada satu itupun bidannya cuma bu Lis yang dibantu oleh adiknya yang baru lulus dari SMA tahun kemarin. Belum lagi soal pendidikan dan seabrek permasalahan yang lain.
Langit di atas berwarna kelabu, sebentar lagi mendung dan pasti akan turun hujan. Telah saatnya tuhan menyirami kebunnya, hampir sebulan tuhan alpa tak menyapa penghuni bumi dengan sentuhan hujan. Padahal sebulan lalu setiap seminggu sekali pasti hujan bahkan pernah seminggu terakhir bulan lalu hujan turun setiap hari sehingga sungai dibelakang rumahku meluap seluruh warga kampungku di buat bingung olehnya, semua mengungsi di kantor kecamatan. Suasananya sangat berbeda bulan ini, musim hujan masih panjang tapi tak sekalipun turun hujan selama sebulan terakhir. Semoga Tuhan kali ini mau munurunkan hujan, setelah sebulan absent dikarenakan sibuk mengurusi permasalahan hambanya yang lain, agar padi yang kita tanam dahulu dapat tumbuh dengan subur. 
Waktu telah sore, kecamuk di otakku di hentakkan oleh panggilan Tuhan yang menggema dari surau samping rumah Bu Lis. Kau masih terus muntah – muntah, aku pun mulai jenuh menuggu, engkau belum juga diperiksa.
"Sabarlah."
Ucapku menghiburmu.
"Sampai kapan Pak? Perutku terasa ditendang-tendang"
Engkau terus saja mengeluh, sampai telah giliran waktumu dipanggil keruang periksa. kita berdua masuk pada ruang putih seukuran kamar kita ini. Ada semacam tirai putih memisahkan ruang lainnya. Setelah membuka lalu menutupnya kembali, engkau pun rebah diranjang dan menuturkan keluhmu.
Tak lama berselang engkau keluar, segera saja aku memberondongmu dengan beraneka peluru pertanyaan. Tapi engkau tetap diam dengan terus menggenggam sebungkus obat yang dibeli dari Bu Lis.
***

No comments:

Post a Comment