MARI BERSASTRA DAN BERKARYA

Di sini bukan arena pertarungan ala rimba, tapi coba setitik tinggal dilembah nurani sekedar menghisap tirta murni, sari pati puting ibu pertiwi dan cumbu illahi. Buat yang pernah berhenti dan mengajak menari, lalu dengan senyumnya yang tertinggal kembali melanjutkan perjalanannya tuk meraih sesuatu yang lebih berarti. Buat mereka semua yang mencoba jejakkan kakinya di tanah hati.

DEBU


debu-debu selalu ada. Dimanapun, kapanpun. Ia datang kirimkan wajah, keraguan, kekuatan dan cinta. Wajah itu…Serpih Jiwa. Terus menghujam dada. Membayang dalam imaji. Merasuk, menyelinapi darahku. Wajahmu serpih jiwa, tak mampu aku menepisnya.
Keraguan pasti datang diantara wajah-wajah itu dengan membawa serombongan saudara-saudaranya. Mereka bernama bimbang, takut, kuatir dan prasangka buruk lainnya. Mereka datang beriring bersama dikala ruang dan waktu memisahkan kami. Apakah ia setia ? Bersama siapakah ia kini ? serangkaian pertanyaan yang muncul itu selalu bisa merisaukan hati. Menggundahkan, hingga menggiringku pada ruang keraguan.
Tetapi ia kadang kala menyuntikkan kedalam tubuhku spirit baru. Sebuah mega power yang tercipta dari anggun sikapnya. Hamper setiap hari ia ada menemuiki, menyapa, melayangkan simpul senyum. Semua itu tak ubahnya suplemen vitamin bagiku, memperkaya sumber energiku. Sehingga aku selalu bersemangat menjalani waktu dan hari-hariku. Selalu siap melakukan apapun, untuknya, untuk serpih jiwaku.
Setiap persuaan itu, ia pasti melontarkan mantra-mantra sihirnya. Mantra-mantra yang mempengaruhi pola fikirku agar bisa lebih dewasa dan bertanggung jawab. Mantra yang membuat aku lebih berarti dan menerbangkan hatiku keawan tinggi.
“sayang aku rindu”
“yang peluk aku”
“yang kecup keningku dong”
masih terlalu banyak rajuk manja yang selalu diutarakan ketika kita saling berjumpa. Kata-kata yang akhirnya menyadarkanku bahwa aku tak lagi sendiri. Aku harus lebih bisa memahami. Aku jatuh cinta padanya, pada serpih jiwaku. Cinta yang tulus, cinta yang mengalir dari samudera. Cinta dari debu-debu yang selalu ada dan terlupakan. Cinta yang selalu ada rindu bila tak bertemu. Rindu yang terkadang menggebu laksana tebu terbawa badai. Rindu kasih, rindu manja, rindu ragu, rindu serpih jiwa.
Rupanya debu-debu itu sampaikan pesanku. Ia kini telah hadir disini. Aoranya kuat kurasa. Ia yang tidak cantik tapi menarik hingga mampu mempesona siapa saja. Dia adalah gadis yang mampu menjaga diri dan memperjuangkan hak-haknya. Bersamanya, pasti bahagia kurasa.
Tapi Tuhan punya cerita yang lain tentang kisahku. Dia sengaja memperpanjang episode dengan menghadirkan konflik yang justru membuat renggang hubungan kami. Berantai-rantai persoalan itu hanya soal atas nama. Nama- nama yang diagungkan terlalu tinggi, sehingga menjelma menjadi berbagai kata. Agama, Negara, Masyarakat bahkan Ego.
Pernah kusampaikan padanya bahwa hidup itu logis dan realities. Manusia masuk pada ruang filosofis yang disempurnakan pada tanah etik. Adapun etik adalah aplikasi nyata dalam bermasyarakat. Kita seharusnya, bisa sesuaikan diri dengan lingkungan dan kondisi masyarakat. Timur memang kiblat kemuliaan tapi barat juga sah-sah saja diambil kebaikannya. Tiada kebenaran yang mutlak didunia kehadiran kita hanya meraba kebenaran.
Dia tak bisa mengerti, menurutnya aku terlalu kebarat-baratan. Ah..aku jadi bingung dibuatnya. Jika bagimu timur lebih mulia lalu mengapa dia yang kau sebut Tuhan itu menghadirkan barat ? jika aku tak boleh memakai istilah barat mengapa kau bebas memakai istilah timur, bukankah barat dan timur hanya sebutan ?
" ini adalah bahasa tuhan " ucapmu
"lalu bahasa apa yangm kuucapkan sekarang " tanyaku
"itu juga bahasa tuhan"
"mengapa aku salah menggunakannya?"
"engkau tidak salah, tapi kita harus bisa memilih mana yang terbaik bagi kita"
"dengan apa kita tentukan baik buruk itu?"
"hanya tuhan yang bisa tentukan apa yang terbaik bagi manusia"
"bagaimana dia sampaikan pesan itu kepada kita, lalu apa fungsi kita?"
"ia sampaikan itu lewat wahyu dan kitab-kitabnya"
"bagaimana kau tahu itu kitabnya dan kebenaran kitab itu?"
"ya itu pasti, karena itu baik bagi kita, telah banyak yang berpendapat seperti itu"
"darimana kau tahu itu baik?"
"dari kitab suci"
"ah kau hanya plagiat kebenaran, tak tahukah engkau keunggulan kitabmu itu ?"
"menurutmu apa?"
Kitab itu benar dan diyakini kebenarannya melalui nalar akal yang sehat. Semua kalimatnya harus dianalisa dan tidak diterjemahkan begitu saja. Karena kalimatnya adalah syair yang menjadi sebuah sastra yang agung. Sastra itu harus dipandang dari berbagai sudut, tempat, masa dan kondisinya.
Peristiwa itu terus saja terjadi. Walau tidak sama persi tapi permaslahannya yang jadi pertikain pasti tidak melenceng dari sebuah prinsip menjalani hidup. Kita berselisih pada paham yang didasari pada keyakinan. Keyakinan tanpa mau menelaah makna dan proses dari pencarian. Untung saja kita masih ada cinta. Rupanya itulah yang selama ini memainkan peran sebagai perekat kerenggangan hubungan kita. Sering kukatakan padanya, benar dan salah biar nanti dipengadilan tuhan yang tentukan. Perbedaan bukan untuk disamakan tapi untuk disatukan. Kita ada untuk saling melengkapi. Perbedaan bukanlah halangan bagi kita, tapi justru sebagai pembentuk keagungan khazanah dunia.
Serpih jiwaku dengarlah!
Dalam setiap huruf yang tertuang disini dengan tulus menyanjungmu. Aku dapat mengerti maksud hatimu. Tapi tolong kita berhenti sejenak pada jalur masing-masing. Mari kita renungkan bagaimana arah langkah kita selanjutnya. Jika kita mau menelaah lagi dan lebih sabar menerima, kita takkan seperti ini. Terbentur pada ruang kebenaran. Bukankah kita sama-sama yakin pada keesaan tuhan? Biar saja itu yang menjadi tali pengikat kita.
Saying
Jika kita mau belajar lagi, serta mau saling menemani, tentu semua ini takkan terjadi. Hidup adalah puzzle, kita ada saling melengkapi terkumpul dalam ruang dunia dan dinaungi langit yang sama. Dia yang maha ada adalah ruang lahir dan kembali. Kita bisa menelaah dan menalar yang terbaik bagi kita. Dunia ini yang kita sebut bumi telah dipasrahkan kepada kita untuk dieksplorasi. Kita harus bisa memanfaatkaanya dengan benar dan baik sebagai kelangsungan hidup kita dan generasi sesudah kita.
semua penjelasanku seakan percuma. karena ia telah terlarut dalam sebuah romantisme. baginya hidup harus tetap sama seperti dulu. ia lupa bahwa waktu telah berubah, kita mengalami evolusi pemikiran. segala sesuatu yang ada, baik idealis, nasionalis, animisme, agamis maupun isme yang lain adalah produk kebudayaan. semua terletak pada keyakinan kita jangan terlalu fanatik atau kebablasan. karena segala sesuatu yang berlebihan itu buruk.
Hidup memang sulit, penuh tantangan. bersatu dalam perbedaan adalah tantangan bagi kita. Semua itu agar kita lebih dewasa dalam mekmanai perbedaan. kita harus bijaksana dalam bersikap dalam melakukan tindakan. jika ego ataupun idealisme kita paksakan kepada orang lain hanya akan menimbulkan perpecahan dan perselisihan. Hidup harus bisa bertoleransi dan duduk berdampingan. jaangan pernah meniadakan sesuatu, biarkan semua ada. jika ada itu tiada maka tiada tak pernah ada. Jika tiada itu tiada maka ada tak pernah ada.


No comments:

Post a Comment