“Adakah yang kau tangisi dari kehilangan selain waktu yang terlewati sia-sia
Sekarang adalah kesempatan merubah keadaan bukan esok apalagi hari depan”. Q-Pely
Sontak ia bangun,rasanya ada yang salah pada perutnya. Entah memang sudah waktunya atau karena semalam ia habis makan tiga mangkok bakso super pedas. Sehingga, pagi ini ia dipaksa segera kekamar mandi. Tuntaskan kewajiban perintah perut. Segera saja ia bergegas tanpa banyak alasan dan pikir panjang baginya, soal perut jangan terlalu diperdebatkan. Sedikit saja mengulur waktu bisa fatal akibatnya. Untung kamarnya atau lebih tepat lagi tempat dia tidur dan mengekspresikan seluruh gundah dan kesakitan jiwanya berdekatan dengan kamar mandi jadi beberapa langkah saja dia sudah masuk kedalam dan menutup pintunya rapat-rapat.
Waktu masih Sangat pagi, jarum jam belum beranjak dari angka enam. Dalam kamar mandi dia berguman sendiri, tentang semalam dapat traktiran dari temennya yang kebetulan mendapatkan bantuan telajar dari dinas terkait, hinggá soal keenggannanya untuk mengikuti jalan temannya.
“Aku gak mau ikutan latah, walau aku tergolong kurang mampu tapi enggan minta PPA atau BBM,karena aku malu.”
“Malu saya bukan ketidak mampuan tersebut,tapi malu pada diriku, aku lelaki yang masih sangat sehat, untuk mencari dana biaya kuliah masa gak mampu ?”, gumanya dalam hati sambil menghisap sebatang rokok surya sisa semalam.
Entah mengapa sulit sekali baginya mengelabui nurani, andai ia bisa bersikap seperti Afan, teman yang menraktirnya semalam, tentu ia tak perla tersendat-sendat dalam menempuh kuliahnya. Ya, setidaknya ia akan sedikit terangkat dalam persoalan biaya.
“Sebenarnya aku iri padamu, engkau kecukupan, kekampus bawa motor, pergi kuliah ada uang saku dari ortu, belum lagi Sekarang dapat beasiswa, sedangkan aku, biaya kuliah cari sendiri, mau dapat uang saku, dari siapa? tempat tinggal sementara yang sempat tertolong dengan fasilitas dengan mengikuti UKM, Sekarang jadi tak menentu setelah pemberlakuan jam malam.” Keluh Abdi pada Afan. Mendengar itu afan tertawa geli.
“ Siapa suruh kamu tidak mengajukan permohonan beasiswa?, ini surabaya bung, salah satu kota besar indonesia, kekejaman dan saling menikam itu Sangat lumrah disini.”.
“Apa aku salah menuruti nuraniku?”
”Di sini jangan pakai hati atau nurani tapi pakailah belati, sudahlah kawan makan saja dulu, rejeki ini rejeki kita berdua.” terang Afan coba mengalihkan perhatian.
”Ah, kamu selalu begitu, terus saja mencela prinsipku, fan kapan kamu registrasi?”
”Saya? Sudah tiga hari yang lalu, kamu?”
”Gimana ya, saya pengen secepatnya untuk bisa registrasi tapi,tahu sendiri sampai saat ini aku lum punya duit.” “Fan untuk registrasi emang harus bayar spp sama kemahasiswaan ya?”.
“Soal gituan jangan tanya ke aku, tanya sama pihak kampus saja, bagiku yang penting beres.”. “ kalo diminta seperti itu,ya saya turuti saja, gak ada gunanya bung melawan birokrasi kampus, yang ada kita malah dipersulit.”.
“Itu menurutmu yang memang kecukupan, tapi ini bukan soal uang Fan, ini soal hak kita sebagai mahasiswa, coba kita pikir berapa biaya yang kita keluarkan untuk kuliah di Universitas Pasti Apik ini, apa sudah seimbang dengan fasilitas yang kita dapatkan?”.
“Itulah salah satu kesalahan terbesarmu kawan, selalu saja persoalkan kebijakan kampus, dari jam malam yang selalu kau tentang sekarang bahas biaya, sudahlah turuti saja, biar cepat lulus”
“Aku memang pengen cepat lulus Fan, tapi aku tidak tahan dibodohi terus, paling tidak tahan lagi jika seluruh Fakultas Bing (Fakultas Bahasa Ingatan) dibodohi, sekarang kutanya fan berapa rupiah untuk bayar kemahasiswaan?”.
”Untuk angkatan 2005 Fak Bing empat puluh ribu memang kenapa ?”.
”Begini Fan, jika satu mahasiswa harus membayar empat puluh ribu, lalu coba kita kalikan dengan jumlah mahasiswa kelas kita atau seluruh fakultas kita yang seangkatan, berapa hasilnya ?”.
Mendengar pertanyaan tersebut Afan tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai pentol bakso yang dikunyahnya melompat keluar, untung tidak mengenai wajah temannya yang idealis itu.
”Abdi, Abdi yang pasti jumlahnya ratusan atau jutaan, untuk lebih detailnya tanyakan pada teman kita Fakultas Menghitung Jumlah (FMJ), gimana Fal berapa jumlahnya?”
Falak dari Fakultas Menghitung yang sejak tadi menyimak pembicaraan Abdi dan Afan hanya tersenyum, lalu dengan gaya bijaksana berkata, “ Memang kenapa pakai dihitung, biarkan saja, dari dulu sampai sekarang memang sudah sewajarnya dalam pendidikan kita harus dikenai beban banyak hal, beban yang wajar atau dibuat wajar, contohnya mungkin beban yang harus kita lunasi untuk kuliah ini, tapi semua itu demi pendidikan dan kepintaran yang kita dapat, bukan begitu?”.
“Sepakat.” sambut Afan.
“Dasar kapitalis pendidikan, ini bukan sesederhana itu, ini masalah manajemen keuangan kita.” kata Abdi sambil meletakkan mangkok baksonya yang kedua. “begini bung seandainya ada tiga ratus mahasiswa fakultas Bahasa Ingatan, maka otomatis jumlah uang kemahasiswaan satu juta dua ratus ribu rupiah, kita sudah bayar biaya perkuliahan dengan SPP dan registrasi, untuk sewa gedung kita juga bayar, lalu buat apa uang sebanyak itu?. Bung ini hanya teman sefakultas coba kita kalikan dengan jumlah mahasiswa Universitas Pasti Apik ini, minimal yang seangkatan dengan kita?”
“Sampai segitunya teman kita satu ini, gimana fan pendapatmu?”.ungkap Falak melimpahkan pertanyaan pada Afan.
“Yang pasti banyak nolnya, tapi buat apa kita mikirin itu? Gak ada gunanya.”, sergah Afan.
Memang tidak ada gunanya, tapi sadar atau tidak kita telah mengeluarkan begitu banyak biaya untuk kuliah dengan pengharapan mendapatkan cukup ilmu sebagai bekal melangkahkan kaki dalam hidup ini. Sebagai mahasiswa yang kurang begitu mampu Abdi merasa beban itu semakin berat, walau dia tahu sudah sepatutnya dan dianggap wajar pendidikan itu mahal dan punya orang kaya. Tapi bagaimanapun dia harus bisa terus belajar untuk mematahkan generasi kemiskinan keluarganya.
Apa iya memang sangat mahal? Sehingga kita dipaksa melunasi biaya yang kurang jelas arahnya. Abdi tahu diri trah kemelaratan tak sepantasnya jadi alasan tuk berhenti belajar karenanya dia menentang kebijakan orang tuanya yang melarangnya kuliah dan lebih menyarankan bekerja. Dia sadar betul tak berguna melawan ototoritas kampusnya, melihat pengalaman generasi sebelumnya yang doyan demo atau menentang kebijakan kampus, dia banyak belajar betapa kampus telah menjadi sistem kekuatan yang sulit ditembus, kampus telah menjadi gurita yang ratusan tangannya terselip diantara mahasiswa bahkan tertanam pada mereka yang ikutan demo. Sehingga mereka sering menjadi musuh dalam selimut dan menjatuhkan mental dan semangat perjuangan mahasiswa.
Masih ingat betul dia saat menentang kebijakan tentang pemilihan Rektor, KKN, arogansi kampus yang memreteli ruang kreatif mahasiswa tanpa konfirmasi pada organisasi yang terkait, betapa semua ditentang pihak kampus selalu bisa menetralisir dengan menyuap beberapa yang berpengaruh dalam demo tersebut, kadang suap itu berupa janji yang katanya demi mahasiswa yang akhirnya janji itu redup dan terlupa atau sengaja dilupakan bersama waktu.
Begitulah dinamika kampusnya, Abdi selalu mencoba sadar telaah diri betapa mahasiswa dikampusnya adalah makhluk luar yang hinggap dikampus sehingga dalam menentukan segala kebijakan kampus mahasiswa tak pernah diikutkan. Padahal mahasiswa adalah salah satu elemen penting kampus, jika tak ada mahasiswa bagaimana bisa ada kampus.
Setelah cukup lama bertarung dan bergelut mengeluarkan kotoran perutnya, Abdi menyiram kotorannya dan membersihkan tubuhnya alias mandi. Hari ini dia harus menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswa, bayar registrasi. Dia berharap semoga tetap bisa kuliah walau jalannya seringkali tersendat. Setelah selesai semua keluarlah dia dari kamar mandi, ganti baju dan pergi. Entah semangat itu masih sama atau telah berubah, karena berbagai hal telah mengubah pandangan hidup seseorang, mungkinkah semester ini dia menjadi penjilat sehingga dapatkan bantuan dari kampus atau dalam diam terus menentang, entahlah....karena akhir selalu sama dan mahasiswa selalu kalah.
Q-Pely As-Suaiby
* Segala kesamaan nama dan tempat hanyalah rekayasa karena cerita ini hanya fiktif belaka
Sekarang adalah kesempatan merubah keadaan bukan esok apalagi hari depan”. Q-Pely
Sontak ia bangun,rasanya ada yang salah pada perutnya. Entah memang sudah waktunya atau karena semalam ia habis makan tiga mangkok bakso super pedas. Sehingga, pagi ini ia dipaksa segera kekamar mandi. Tuntaskan kewajiban perintah perut. Segera saja ia bergegas tanpa banyak alasan dan pikir panjang baginya, soal perut jangan terlalu diperdebatkan. Sedikit saja mengulur waktu bisa fatal akibatnya. Untung kamarnya atau lebih tepat lagi tempat dia tidur dan mengekspresikan seluruh gundah dan kesakitan jiwanya berdekatan dengan kamar mandi jadi beberapa langkah saja dia sudah masuk kedalam dan menutup pintunya rapat-rapat.
Waktu masih Sangat pagi, jarum jam belum beranjak dari angka enam. Dalam kamar mandi dia berguman sendiri, tentang semalam dapat traktiran dari temennya yang kebetulan mendapatkan bantuan telajar dari dinas terkait, hinggá soal keenggannanya untuk mengikuti jalan temannya.
“Aku gak mau ikutan latah, walau aku tergolong kurang mampu tapi enggan minta PPA atau BBM,karena aku malu.”
“Malu saya bukan ketidak mampuan tersebut,tapi malu pada diriku, aku lelaki yang masih sangat sehat, untuk mencari dana biaya kuliah masa gak mampu ?”, gumanya dalam hati sambil menghisap sebatang rokok surya sisa semalam.
Entah mengapa sulit sekali baginya mengelabui nurani, andai ia bisa bersikap seperti Afan, teman yang menraktirnya semalam, tentu ia tak perla tersendat-sendat dalam menempuh kuliahnya. Ya, setidaknya ia akan sedikit terangkat dalam persoalan biaya.
“Sebenarnya aku iri padamu, engkau kecukupan, kekampus bawa motor, pergi kuliah ada uang saku dari ortu, belum lagi Sekarang dapat beasiswa, sedangkan aku, biaya kuliah cari sendiri, mau dapat uang saku, dari siapa? tempat tinggal sementara yang sempat tertolong dengan fasilitas dengan mengikuti UKM, Sekarang jadi tak menentu setelah pemberlakuan jam malam.” Keluh Abdi pada Afan. Mendengar itu afan tertawa geli.
“ Siapa suruh kamu tidak mengajukan permohonan beasiswa?, ini surabaya bung, salah satu kota besar indonesia, kekejaman dan saling menikam itu Sangat lumrah disini.”.
“Apa aku salah menuruti nuraniku?”
”Di sini jangan pakai hati atau nurani tapi pakailah belati, sudahlah kawan makan saja dulu, rejeki ini rejeki kita berdua.” terang Afan coba mengalihkan perhatian.
”Ah, kamu selalu begitu, terus saja mencela prinsipku, fan kapan kamu registrasi?”
”Saya? Sudah tiga hari yang lalu, kamu?”
”Gimana ya, saya pengen secepatnya untuk bisa registrasi tapi,tahu sendiri sampai saat ini aku lum punya duit.” “Fan untuk registrasi emang harus bayar spp sama kemahasiswaan ya?”.
“Soal gituan jangan tanya ke aku, tanya sama pihak kampus saja, bagiku yang penting beres.”. “ kalo diminta seperti itu,ya saya turuti saja, gak ada gunanya bung melawan birokrasi kampus, yang ada kita malah dipersulit.”.
“Itu menurutmu yang memang kecukupan, tapi ini bukan soal uang Fan, ini soal hak kita sebagai mahasiswa, coba kita pikir berapa biaya yang kita keluarkan untuk kuliah di Universitas Pasti Apik ini, apa sudah seimbang dengan fasilitas yang kita dapatkan?”.
“Itulah salah satu kesalahan terbesarmu kawan, selalu saja persoalkan kebijakan kampus, dari jam malam yang selalu kau tentang sekarang bahas biaya, sudahlah turuti saja, biar cepat lulus”
“Aku memang pengen cepat lulus Fan, tapi aku tidak tahan dibodohi terus, paling tidak tahan lagi jika seluruh Fakultas Bing (Fakultas Bahasa Ingatan) dibodohi, sekarang kutanya fan berapa rupiah untuk bayar kemahasiswaan?”.
”Untuk angkatan 2005 Fak Bing empat puluh ribu memang kenapa ?”.
”Begini Fan, jika satu mahasiswa harus membayar empat puluh ribu, lalu coba kita kalikan dengan jumlah mahasiswa kelas kita atau seluruh fakultas kita yang seangkatan, berapa hasilnya ?”.
Mendengar pertanyaan tersebut Afan tertawa terbahak-bahak, sampai-sampai pentol bakso yang dikunyahnya melompat keluar, untung tidak mengenai wajah temannya yang idealis itu.
”Abdi, Abdi yang pasti jumlahnya ratusan atau jutaan, untuk lebih detailnya tanyakan pada teman kita Fakultas Menghitung Jumlah (FMJ), gimana Fal berapa jumlahnya?”
Falak dari Fakultas Menghitung yang sejak tadi menyimak pembicaraan Abdi dan Afan hanya tersenyum, lalu dengan gaya bijaksana berkata, “ Memang kenapa pakai dihitung, biarkan saja, dari dulu sampai sekarang memang sudah sewajarnya dalam pendidikan kita harus dikenai beban banyak hal, beban yang wajar atau dibuat wajar, contohnya mungkin beban yang harus kita lunasi untuk kuliah ini, tapi semua itu demi pendidikan dan kepintaran yang kita dapat, bukan begitu?”.
“Sepakat.” sambut Afan.
“Dasar kapitalis pendidikan, ini bukan sesederhana itu, ini masalah manajemen keuangan kita.” kata Abdi sambil meletakkan mangkok baksonya yang kedua. “begini bung seandainya ada tiga ratus mahasiswa fakultas Bahasa Ingatan, maka otomatis jumlah uang kemahasiswaan satu juta dua ratus ribu rupiah, kita sudah bayar biaya perkuliahan dengan SPP dan registrasi, untuk sewa gedung kita juga bayar, lalu buat apa uang sebanyak itu?. Bung ini hanya teman sefakultas coba kita kalikan dengan jumlah mahasiswa Universitas Pasti Apik ini, minimal yang seangkatan dengan kita?”
“Sampai segitunya teman kita satu ini, gimana fan pendapatmu?”.ungkap Falak melimpahkan pertanyaan pada Afan.
“Yang pasti banyak nolnya, tapi buat apa kita mikirin itu? Gak ada gunanya.”, sergah Afan.
Memang tidak ada gunanya, tapi sadar atau tidak kita telah mengeluarkan begitu banyak biaya untuk kuliah dengan pengharapan mendapatkan cukup ilmu sebagai bekal melangkahkan kaki dalam hidup ini. Sebagai mahasiswa yang kurang begitu mampu Abdi merasa beban itu semakin berat, walau dia tahu sudah sepatutnya dan dianggap wajar pendidikan itu mahal dan punya orang kaya. Tapi bagaimanapun dia harus bisa terus belajar untuk mematahkan generasi kemiskinan keluarganya.
Apa iya memang sangat mahal? Sehingga kita dipaksa melunasi biaya yang kurang jelas arahnya. Abdi tahu diri trah kemelaratan tak sepantasnya jadi alasan tuk berhenti belajar karenanya dia menentang kebijakan orang tuanya yang melarangnya kuliah dan lebih menyarankan bekerja. Dia sadar betul tak berguna melawan ototoritas kampusnya, melihat pengalaman generasi sebelumnya yang doyan demo atau menentang kebijakan kampus, dia banyak belajar betapa kampus telah menjadi sistem kekuatan yang sulit ditembus, kampus telah menjadi gurita yang ratusan tangannya terselip diantara mahasiswa bahkan tertanam pada mereka yang ikutan demo. Sehingga mereka sering menjadi musuh dalam selimut dan menjatuhkan mental dan semangat perjuangan mahasiswa.
Masih ingat betul dia saat menentang kebijakan tentang pemilihan Rektor, KKN, arogansi kampus yang memreteli ruang kreatif mahasiswa tanpa konfirmasi pada organisasi yang terkait, betapa semua ditentang pihak kampus selalu bisa menetralisir dengan menyuap beberapa yang berpengaruh dalam demo tersebut, kadang suap itu berupa janji yang katanya demi mahasiswa yang akhirnya janji itu redup dan terlupa atau sengaja dilupakan bersama waktu.
Begitulah dinamika kampusnya, Abdi selalu mencoba sadar telaah diri betapa mahasiswa dikampusnya adalah makhluk luar yang hinggap dikampus sehingga dalam menentukan segala kebijakan kampus mahasiswa tak pernah diikutkan. Padahal mahasiswa adalah salah satu elemen penting kampus, jika tak ada mahasiswa bagaimana bisa ada kampus.
Setelah cukup lama bertarung dan bergelut mengeluarkan kotoran perutnya, Abdi menyiram kotorannya dan membersihkan tubuhnya alias mandi. Hari ini dia harus menyelesaikan tugasnya sebagai mahasiswa, bayar registrasi. Dia berharap semoga tetap bisa kuliah walau jalannya seringkali tersendat. Setelah selesai semua keluarlah dia dari kamar mandi, ganti baju dan pergi. Entah semangat itu masih sama atau telah berubah, karena berbagai hal telah mengubah pandangan hidup seseorang, mungkinkah semester ini dia menjadi penjilat sehingga dapatkan bantuan dari kampus atau dalam diam terus menentang, entahlah....karena akhir selalu sama dan mahasiswa selalu kalah.
Q-Pely As-Suaiby
* Segala kesamaan nama dan tempat hanyalah rekayasa karena cerita ini hanya fiktif belaka
No comments:
Post a Comment