Karya
sastra merupakan refleksi cipta, rasa, dan karsa manusia tentang kehidupan.
Refleksi cipta artinya karya sastra merupakan hasil penciptaan yang berisis
keindahan. Tanpa penciptaan, karya sastra tidak mungkin ada. Karya sastra
merupakan refleksi rasa dan karsa berarti bahwa karya sastra diciptakan untuk
menyatakan perasaan yang di dalamnya terkandung maksud atau tujuan tertentu.
Hal ini membuat karya sastra memiliki kelebihan dibandingkan dengan cabang seni
lain, baik dalam bentuk maupun sarana/media yang digunakan, yaitu kata-kata
atau bahasa (Suroso, 1995:14).
Sumardjo
(1991:7) mengemukakan bahwa keindahan dalam sastra terjadi karena adanya
keselarasan bahasa atau kata-kata yang digunakan. Dengan demikian, keindahan
dalam karya sastra pada hakikatnya adalah wujud dari keselarasan perasaan dan
pikiran yang dinyatakan dengan kata-kata atau bahasa yang tepat.
Pradopo (1995:72) juga mengemukakan bahwa karya
sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya.
Berbeda dengan seni lain, misalnya seni musik, dan seni lukis yang mediumnya
netral, dalam arti, belum mempunyai arti, satra (seni sastra) mediumnya
(bahasa) sudah mempunyai arti, mempunyai sistem dan konvensi. Bahasa sastra
adalah bahasa yang sudah mempunyai arti. Bahasa berkedudukan sebagai bahan dalm
hubungannya dengan sastra, bahasa sastra sudah mempunyai sistem dan konvensi
sendiri yang mempergunakan bahasa yang disebut sistem semiotik tingkat kedua.
Untuk membedakan arti bahasa dan arti sastra
dipergunakan istilah arti (meaning)
untuk bahasa dan makna (significance) untuk
arti sastra. Makna sastra ditentukan oleh konvensi sastra atau konvensi
tambahan itu. Jadi, dalam sastra arti bahasa tidak lepas sama sekali dari arti
bahasanya. Dalam sastra, arti bahasa itu mendapat arti tambahan atau
konotasinya. Lebih-lebih dalam puisi, konvensi sastra itu sangat jelas memberi
arti tambahan kepada arti bahasanya. Apapun rumusan dan pengertian tentang
sastra, bahasa tetap merupakan medium sastra yang tidak dapat diabaikan.
Karena medium yang digunakan oleh pengarang adalah
bahasa, pengamatan terhadap bahasa ini pasti mengungkapkan hal-hal yang
membantu kita menafsirkan makna suatu karya atau bagian-bagiannya, untuk
selanjutnya memahami dan menikmatinya (Sudjiman, 1993:vii).
Pradopo (1993:vi) lebih khusus mengacu kepada
puisi yang mempunyai sifat, struktur, dan konvensi-konvensi sendiri. Oleh
karena itu untuk memahaminya perlu dimengerti dan dipelajari konvensi-konvensi
dan struktur puisi tersebut.
Aminuddin dalam Nurhadi (1978:90) mengungkapkan
bahwa apabila dalam komunikasi lisan keseharian penutur lazimnya mengutamakan
kejelasan isi tuturan, dalam komunikasi sastra isi tuturan justru disampaikan
secara terselubung. Untuk mempertegas pernyataan tersebut, Aminuddin mengutip
prndapat penyair Abdul Hadi yaitu “Puisi harus berkomunikasi secara tidak
langsung dengan pembaca, karena puisi bukan percakapan sehari-hari, melainkan
percakapan batin”.
Pemahaman terhadap karya sastra tidak cukup
diprasyarati oleh penguasaan kode bahasa saja, tetapi juga kode sastra di
samping harus disertai usaha secara sadar, sikap kritis dan kesungguhan hati
(Nurgiyantoro, 1994:342). Analisis terhadap karya sastra (termasuk puisi)
bertujuan agar karya sastra itu dapat dipahami lebih baik sehingga dapat
dinikmati lebih intens serta ditarik manfaatnya dalam memahami hidup ini
(Sudjiman, 1993:1).
Puisi adalah salah satu jenis sastra. Seringkali
istilah puisi disamakan dengan sajak. Akan tetapi, sebenarnya tidak
sama, puisi itu merupakan jenis sastra yang melingkupi sajak, sedangkan sajak
adalah individu puisi. Dalam istilah bahsa Inggrisnya puisi adalah poetry dan sajak adalah poem. Memang, sebelum ada istilah puisi,
istilah sajak untuk menyebut juga jenis sastranya (puisi) ataupun individunya
sastranya (sajak).
Memahami makna pusis tidaklah mudah, lebih-lebih
pada waktu sekarang, puisi makin kompleks dan aneh. Jenis puisi lain dari jenis
prosa. Prosa tampaknya lebih mudah dipahami maknanya daripada puisi. Hal ini
disebabkan oleh bahasa prosa merupakan ucapan “biasa”, sedangkan puisi
merupakan ucapan yang “tidak biasa”. Biasanya prosa mengikuti atau sesuai
dengan struktur bahasa normatif sedangakan puisi biasanya menyimpang dari tata
bahasa normatif.
Pengertian pemaknaan puisi atau pemberian makna
puisi berhubungan dengan teori sastra masa kini yang lebih memberikan perhatian
kepada pembaca dari lainnya. Puisi itu suatu artefak yang baru mempunyai makna
bila diberi makna oleh pembaca. Akan tetapi, pemberian makna itu tidak boleh
semau-maunya, melainkan berdasarkan atau dalam kerangka semiotik (ilmu/sistem
tanda).
Untuk memahami puisi dan memberi makna puisi
tidaklah mudah tanpa mengerti konvensi sastra, khususnya konvensi puisi. Puisi
merupakan karya seni yang bermedium bahasa. Puisi harus dipahami sebagai sistem
tanda (semiotik) yang mempunyai makna berdasarkan konvensi. Medium puisi adalah
bahasa yang sudah mempunyai arti sebagai bahan puisi. Oleh karena itu, bahasa
disebut sebagai sistem tanda atau semiotik tingkat pertama. Makna bahasa
disebut arti (meaning) yang
ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa. Dalam karya sastra bahasa sebagai
sistem tanda tingkat pertama ditingkatkan derajatnya menjadi sistem tanda
tingkat kedua, maka artinya pun ditentukan oleh konvensi sastra, menjadi arti
sastra. Arti sastra adalah arti dari arti (meaning
of meaning) atau makna (significance).
Oleh karena itu, untuk memberi makna puisi haruslah diketahui konvensi
puisi tersebut. Diantara konvensi puisi adalah ucapan atau ekspresi tidak
langsung (Preminger dkk., 1974:980-981).
Puisi merupakan sebuah struktur. Struktur di sini
dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur terjadi
hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam
sastra merupakan hal-hal saling terikat dan saling bergantung.
Puisi juga merupakan sebuah struktur yang
kompleks. Karena itu, untuk memahami puisi haruslah menganalisis puisi
tersebut. Dalam menganalisis puisi, bagian itu haruslah dipahami sebagai bagian
bagian dari keseluruhan. Seperti dikemukakan di atas, puisi merupakan susunan
keseluruhan yang utuh, yang bagian-bagian atau unsur-unsurnya saling berkaitan
erat dan saling menentukan maknanya. Unsur-unsur struktur puisi itu koheren
atau pertautan erat; unsur-unsur itu tidak otonom, melainkan merupakan bagian
situasi yang rumit dan dari hubungannya dengan bagian lain, unsur-unsur itu
akan mendapat artinya (Culler, 1977:170). Jadi, untuk memahami puisi haruslah
diperhatikan jalinan atau pertautan unsur-unsurnya sebagai bagian dari
keseluruhan.
Menganalisis
puisi bertujuan memahami makna puisi. Menganalisis puisi merupakan usaha
menangkap dan memberi makna kepada teks puisi. Karya sastra itu merupakan
struktur yang bermakna. Hal ini mengingat bahwa karya satra itu merupakan sistem
tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa.
Bahasa
sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan,
yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Bahasa merupakan sistem ketandaan
yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi masyarakat. Sistem ketandaan itu
disebut semiotik.
Semiotik
adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara
berfungsinya, hubungan dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, penerimaannya
oleh mereka yang mempergunakannya. Apabila studi tentang tanda ini berpusat
pada penggolongannya, pada hubungannya dengan tanda-tanda lainnya, pada caranya
bekerja sama dalam menjalankan bunyinya, itu adalaha kerja dalam fonologi semiotik. Apabila studi ini
menonjolkan tanda-tanda dengan pembentukan kata-katanya yang dihasilkan, itu
adalah kerja morfologi semiotik.
Apabila studi dihubungkan dengan caranya bekerja sama dalam menjalankan
fungsinya, itu adalah kerja dalam sintaks
semiotik. Apabila studi ini menonjolkan hubungan tanda-tanda dengan
acuannya dengan interprtasi yang dihasilkannya, itu adalah kerja semantik semiotik. Apabila studi tentang
tanda ini mementingkan hubungan antara tanda dengan pengirim dan penerimaannya,
itu adalah kerja pragmatik semiotik.
Ferdinand
de Saussure dalam bukunya Cours de
Linguistique Generale mengemukakan bahwa pengertian dasar linguitik yang
bertolak pada pemikiran dua dimensi. Pengertiannya selalu berupa pasangan yang
berlawanan, yakni dikotomi antara langue dan
parole, signifiant dan signifie serta sintagma dan paradigm.
Buku ini dianggap sebagai permulaan dari linguistic strukturalis.
Sumbangan
de Saussure bagi semiologi pertama-tama adalah penekanan pentingnya suatu ilmu
tanda yang tercantum dalam bukunya yang mengatakan bahwa “… linguistik hanya merupakan bagiam ilmu umum. Aturan-aturan yang
akan ditemukan oleh semiologi akan dapat diterapkan pada linguistic. Dengan
demikian, linguistik akan menjadi suatu bidang khusus yang termasuk dalam
keseluruhan hubungan social”( de Saussure dalam Sudjiman, 1992:56).